Senin, 07 September 2015 |

Menikahi Orang yang Dicintai atau Mencintai Orang yang Dinikahi?


Ada satu kondisi yang kerap terjadi pada wanita, dimana ia hendak dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya. Bagi wanita yang lagi jomblo mungkin tidak begitu menjadi perkara besar, bahkan boleh jadi ia senang dengan tawaran itu. Beda halnya dengan seorang wanita yang lagi menjalin hubungan asmara dengan laki-laki lain. Ia akan dihadapkan pada 2 pilihan antara memperjuangkan cintanya atau menuruti keputusan orang tuanya.

Dalam perspektif Islam, patuh pada orang tua adalah jalan terbaik yang harus diambil oleh si wanita, meski harus menanggung konsekuensi meninggalkan cinta sejatinya. Di zaman dahulu ketika Islam baru lahir, budaya hubungan cinta sebelum pernikahan sangat jarang terjadi. Sepasang pria-wanita baru saling mengenal satu sama lain justru setelah di pelaminan. Dan umumnya, pasangan tersebut memang hasil pilihan orang tuanya.

Beda dulu dan sekarang, dimana para remaja kerap mempunyai hubungan asmara diluar jalur pernikahan. Let say, pacaran. Buat remaja yang lagi pacaran dan keduanya saling berkomitmen untuk melanjutkan hubungannya tersebut ke jenjang yang lebih serius, tentu peristiwa perjodohan seperti di atas merupakan sebuah petaka. Dalam konteks cinta, ini adalah ujian kesetiaan. Seberapa jauh ia mencintai, sehingga berimplikasi pada tahap bertahan dalam kondisi yang memaksanya berpisah. Sementara disisi yang lain, statusnya masih dalam tanggungan orang tua, dimana si Ayah berhak memilihkan suami untuknya.

Setiap pilihan memiliki resiko masing-masing. Namun, ada sebuah resiko yang jarang sekali terpikirkan. Yakni, ketika si perempuan memilih pria pilihan orang tuanya dan mengorbankan cinta sebelumnya, seperti yang dikisahkan Buya Hamka dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Witjch”.

Setelah ia menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya tersebut, pastilah ia merasakan kebahagiaan lazimnya orang yang baru menikah, tetapi itu adalah sebuah kondisi yang tidak natural, karena rasa tenteram di hatinya adalah kebahagiaan yang dikondisikan. Ia menjalani rutinitas pasutri seperti biasa. Secara naluriah, karena merupakan pelampiasan hasrat, keduanya pasti merasakan kenikmatannya.

Seiring berjalannya waktu, sebuah rumah tangga pastilah menjumpai masalah. Keduanya juga saling mengetahui akan kekurangan masing-masing. Kebahagiaan dalam masa perdana pernikahan kini menjadi kemelut, yang sangat berakibat pada munculnya rasa bosan satu sama lain. Aktivitas pasutri dijalaninya cuma karena kewajiban, bukan atas motif ketulusan hati. Hambar. Dalam kondisi ini, sangat mungkin bagi si cewek menyesali keputusannya dan mengingat cintanya yang dulu ia korbankan. Pikirannya akan secara otomatis bernostalgia pada masa-masa indah saat ia berpacaran.

Oke, pada titik ini tak ada masalah yang cukup berarti. Toh manusia tidak mampu mengendalikan lalu-lintas pikirannya secara total. Dia tak berdosa karena dalam pikirannya terbesit bayangan si mantan. Akan tetapi, sebuah bencana besar bila ia sengaja membayangkannya ketika jima’. Dikatakan bahwa seorang suami/istri yang membayangkan orang lain sebagai pasangannya ketika berhubungan seksual, maka sama saja ia telah melakukan zina. Apakah ini mungkin terjadi? Berdasarkan kasus yang penulis terima, kemungkinan untuk terjadi sebesar 80%.

Pernikahan adalah jenjang tertinggi dalam suatu hubungan asmara. Untuk mencapainya diperlukan menapaki jenjang lebih rendah di bawahnya, meski tidak harus dalam bentuk pacaran. Oleh karena itu, menikahi orang yang dicintai itu sangat berarti, karena kita sudah mengenal dan merasa cocok satu sama lain sebelum menikah.

Sayangnya, dalam Islam tidak ada cinta sebelum pernikahan. Walaupun jatuh cinta itu fitrah, hal ini tetap keliru bila ada seseorang yang jatuh cinta sebelum menikah. Menurut Dr. Zakir Naik, peristiwa jatuh cinta sebelum menikah  awalnya disebabkan oleh seseorang yang melanggar hukum hijab. Dalam orasinya juga dikatakan, “It is more important to love the girl you married, than to marry the girl you love.”

Mengingat zaman sekarang yang sudah berubah drastis, dengan segala budaya dan teknologi yang sangat mudah diakses, mendesak kita untuk merelevansikan hukum-hukum Islam tanpa menghilangkan esensi dari hukum tersebut. Dari sini penulis berkesimpulan, menjaga aturan hijab seperti menundukkan pandangan dan berbicara seperlunya dengan lawan jenis tetap wajib hukumnya bagi setiap Muslim. Ia pun memang benar-benar tidak pernah jatuh cinta sebelum menikah, sehingga mengambil langkah “love the girl/man you married” tidak dikhawatirkan apa-apa. Ini adalah langkah pencegahan. Upaya pengobatannya, bagi yang sudah pernah terlanjur jatuh cinta, hingga ia benar-benar yakin pasangannya tersebut adalah yang terbaik untuk menjadi suami/istrinya, maka “marry the girl/man you love” adalah solusinya. Agama & akhlaq adalah sebuah ukuran ideal dalam menentukan kadar kebaikan tersebut.

Mencegah memang lebih baik daripada mengobati. Persoalannya, sudah banyak yang harus diobati.

Cheers,


Instagram