Ada satu kondisi yang kerap terjadi pada wanita, dimana ia hendak dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya. Bagi wanita yang lagi jomblo mungkin tidak begitu menjadi perkara besar, bahkan boleh jadi ia senang dengan tawaran itu. Beda halnya dengan seorang wanita yang lagi menjalin hubungan asmara dengan laki-laki lain. Ia akan dihadapkan pada 2 pilihan antara memperjuangkan cintanya atau menuruti keputusan orang tuanya.
Dalam perspektif Islam, patuh pada orang tua adalah jalan terbaik yang harus diambil oleh si wanita, meski harus menanggung konsekuensi meninggalkan cinta sejatinya. Di zaman dahulu ketika Islam baru lahir, budaya hubungan cinta sebelum pernikahan sangat jarang terjadi. Sepasang pria-wanita baru saling mengenal satu sama lain justru setelah di pelaminan. Dan umumnya, pasangan tersebut memang hasil pilihan orang tuanya.
Beda dulu dan sekarang, dimana
para remaja kerap mempunyai hubungan asmara diluar jalur pernikahan. Let say,
pacaran. Buat remaja yang lagi pacaran dan keduanya saling berkomitmen untuk
melanjutkan hubungannya tersebut ke jenjang yang lebih serius, tentu peristiwa
perjodohan seperti di atas merupakan sebuah petaka. Dalam konteks cinta, ini adalah ujian kesetiaan. Seberapa jauh ia mencintai, sehingga berimplikasi pada tahap bertahan dalam kondisi yang memaksanya berpisah. Sementara disisi yang lain, statusnya masih dalam tanggungan orang tua, dimana si Ayah berhak memilihkan suami untuknya.
Setiap pilihan memiliki resiko
masing-masing. Namun, ada sebuah resiko yang jarang sekali terpikirkan. Yakni,
ketika si perempuan memilih pria pilihan orang tuanya dan mengorbankan
cinta sebelumnya, seperti yang dikisahkan Buya Hamka dalam novel “Tenggelamnya
Kapal Van Der Witjch”.
Setelah ia menikah dengan
laki-laki pilihan orang tuanya tersebut, pastilah ia merasakan kebahagiaan lazimnya
orang yang baru menikah, tetapi itu adalah sebuah kondisi yang tidak natural,
karena rasa tenteram di hatinya adalah kebahagiaan yang dikondisikan. Ia
menjalani rutinitas pasutri seperti biasa. Secara naluriah, karena merupakan
pelampiasan hasrat, keduanya pasti merasakan kenikmatannya.
Seiring berjalannya waktu, sebuah
rumah tangga pastilah menjumpai masalah. Keduanya juga saling mengetahui akan
kekurangan masing-masing. Kebahagiaan dalam masa perdana pernikahan kini menjadi kemelut, yang sangat berakibat pada munculnya rasa bosan satu
sama lain. Aktivitas pasutri dijalaninya cuma karena kewajiban, bukan atas
motif ketulusan hati. Hambar. Dalam kondisi ini, sangat mungkin bagi si cewek
menyesali keputusannya dan mengingat cintanya yang dulu ia korbankan.
Pikirannya akan secara otomatis bernostalgia pada masa-masa indah saat ia
berpacaran.
Oke, pada titik ini tak ada
masalah yang cukup berarti. Toh manusia
tidak mampu mengendalikan lalu-lintas pikirannya secara total. Dia tak berdosa
karena dalam pikirannya terbesit bayangan si mantan. Akan tetapi, sebuah bencana besar bila ia sengaja membayangkannya ketika jima’. Dikatakan bahwa seorang
suami/istri yang membayangkan orang lain sebagai pasangannya ketika berhubungan
seksual, maka sama saja ia telah melakukan zina. Apakah ini mungkin terjadi?
Berdasarkan kasus yang penulis terima, kemungkinan untuk terjadi sebesar 80%.
Pernikahan adalah jenjang
tertinggi dalam suatu hubungan asmara. Untuk mencapainya diperlukan menapaki
jenjang lebih rendah di bawahnya, meski tidak harus dalam bentuk pacaran. Oleh
karena itu, menikahi orang yang dicintai itu sangat berarti, karena kita sudah
mengenal dan merasa cocok satu sama lain sebelum menikah.
Sayangnya, dalam Islam tidak ada
cinta sebelum pernikahan. Walaupun jatuh cinta itu fitrah, hal ini tetap keliru
bila ada seseorang yang jatuh cinta sebelum menikah. Menurut Dr. Zakir Naik, peristiwa jatuh cinta
sebelum menikah awalnya disebabkan oleh seseorang
yang melanggar hukum hijab. Dalam orasinya juga dikatakan, “It is more important to love the
girl you married, than to marry the girl you love.”
Mengingat zaman sekarang yang sudah
berubah drastis, dengan segala budaya dan teknologi yang sangat mudah diakses, mendesak
kita untuk merelevansikan hukum-hukum Islam tanpa menghilangkan esensi dari
hukum tersebut. Dari sini penulis berkesimpulan, menjaga aturan hijab seperti
menundukkan pandangan dan berbicara seperlunya dengan lawan jenis tetap wajib hukumnya
bagi setiap Muslim. Ia pun memang benar-benar tidak pernah jatuh cinta
sebelum menikah, sehingga mengambil langkah “love the girl/man you married” tidak
dikhawatirkan apa-apa. Ini adalah langkah pencegahan. Upaya pengobatannya, bagi
yang sudah pernah terlanjur jatuh cinta, hingga ia benar-benar yakin
pasangannya tersebut adalah yang terbaik untuk menjadi suami/istrinya, maka
“marry the girl/man you love” adalah solusinya. Agama & akhlaq adalah
sebuah ukuran ideal dalam menentukan kadar kebaikan tersebut.
Mencegah memang lebih baik
daripada mengobati. Persoalannya, sudah banyak yang harus diobati.
Cheers,