Sabtu, 17 Oktober 2009 |

Emba

Inilah Emba, nenek dari garis keturunan Bapak. Diantara kakek-nenekku semuanya, Emba lah yang paling banyak menghabiskan sisa hidupnya denganku. tersebab yang lain sudah wafat disaat aku kecil bahkan ada yang wafat sebelum aku lahir.

Adapun nenek dari Ummi' yang bernama Nyi Nur’aini wafat ketika Ummi' masih di bangku kelas 3 MI dan suaminya K. Abd. Ka'ie wafat ketika aku kelas 3 SD. Sedangkan Kakek dari Bapak yang bernama K. H. Zainuddin lahir hari Senin, 21 Jumadil Akhir 1353 H./01 Oktober 1934 M. dan wafat pada hari Selasa, 28 Jumadil Ula 1421 H./29 Agustus 2000 M. Terakhir Emba yang bernama Ny. Hj. Sitti Furaidah ini lahir pada hari Sabtu, 28 Syawal 1356 H./01 Januari 1938 M. dan wafat pada hari Selasa, 19 Rajab 1432 H./21 Juni 2011 M. Lengkap sudah Allah memanggil semua kakek-nenekku. Kini tinggallah nenek tiriku (isteri kedua dari Ba 'A 'ie), Ny. Hj. Khalilah 'Utsmuni yang berdomisili di desa Larangan Ganding. Sedikit cerita tentangnya, waktu aku kecil dia pernah mencium pipiku. Lalu dengan refleks aku bilas bekas hisapannya. Inilah kenanganku yang tak mungkin terlupa tentangnya.

Gelgell

Adikku yang satu ini benar-benar bandel. Jika ada yang salah sedikit, untuk meluapkan emosinya ia langsung berteriak sekeras-kerasnya. Mukanya memerah dan urat lehernya muncul ke permukaan. Tetangga sekitar harus bikin rumah kedap suara untuk menulikan telinganya. Kucing pun ikut lari ketakutan. Bahaya betul. Bikin suasana gaduh. Tak ayal, ketika ia mulai berteriak histeris, jari telunjuk Ummi' langsung tertuju padaku. Sesekali ke Bak Ita. Selalu saja kami yang jadi tersangka atas tragedi teriakannya setiap waktu.

Namanya Sibghatallah Lu’lu’ Al-Maknun Mujaddidah. Nama terpanjang diantara sesaudara, bahkan sedesa Pananggungan. Nama-nama kami memang murni pemberian dari Bapak. Nama panggilan kami bertiga memang tak ada yang persis mengambil dari nama lengkap. Adikku termasuk yang paling melenceng. Bapak memberinya panggilan Emelda. Dia akrab dipanggil Emel oleh teman-temannya. Adapun panggilan olehku banyak sekali riwayat, mulai Enda, Klu-klu, hingga saat ini aku menganggilnya Gelgell. Tak menutup kemungkinan ada panggilan selanjutnya.

Bak Ita

Masyithah Mardhatillah. Dipanggil Ita. Katanya sih, dulu ketika bak Ita lahir masih jarang orang bernama Ita, sehingga Bapak sangat menyukainya karena langka. Beda dulu dan kini. Nama itu sudah tidak asing lagi. Banyak ditemukan di mana-mana, bahkan pada ember tahu pun tertulis “ITA”, bakwan ITA, Rumah Makan ITA , warung bu ITA dan seterusnya dan seterusnya. Tapi dirasa bingung juga. Dari nama lengkapnya di atas, mau dipanggil siapa lagi kalau bukan Ita? Masyithah? Ah, kepanjangan buat nama panggilan. Panggilannya pun kacau; masy masy...! masyith masyith...! atau toh toh...! Tilla? Tak lebur (terjemah: tidak menarik). Ila? Kodin (terjemah: kuno). Final : Ita.

Ummy

Terlahir sebagai anak sulung dari keempat bersaudara yang semuanya perempuan dari ayah K. Abd. Ka’ie --rahimahullah-- dan ibu Ny. Nuraini --rahimahallah-- pada hari Ahad, 18 Ramadhan 1391 H./07 Nopember 1971 M. Alamat asalnya Gadu Barat kecamatan Ganding. Ummi' tinggal di Panangungan setelah nikah dengan Bapak. Selain sebagai ibu rumah tangga, Ummi' juga aktif ngajar di TK Al-Qalam Pananggungan. Sebagai ustadzah, Ummi' tak hanya aktif ngajar di TK. Banyak santri-santrinya datang ke rumah untuk privat ngaji diluar jam sekolah. Keseharian Ummi' juga diisi dengan beberapa aktifitas ukhrawi seperti puasa Daud.

Masyarakat jamak memanggil Ummi' dengan sebutan nyai meski orang itu jelas lebih tua bahkan sepuh. Dalam tradisi Madura, 'nyai' tidak hanya berfungsi sebagai sebutan kepada nenek dan orang yang berusia sepuh, tapi juga sebutan untuk seorang wanita berdarah biru. Sehingga sebutan/gelar itu digandengkan dengan nama beliau sendiri; Mamnunah. Dulunya, ayah Ummi' yang akrab ku panggil ba 'A 'ie memang terkenal di lingkungannya sebagai sosok kyai  kharismatik (dalam konteks masyarakat tradisional).
Instagram