Sabtu, 17 Oktober 2009 |

Gelgell

Adikku yang satu ini benar-benar bandel. Jika ada yang salah sedikit, untuk meluapkan emosinya ia langsung berteriak sekeras-kerasnya. Mukanya memerah dan urat lehernya muncul ke permukaan. Tetangga sekitar harus bikin rumah kedap suara untuk menulikan telinganya. Kucing pun ikut lari ketakutan. Bahaya betul. Bikin suasana gaduh. Tak ayal, ketika ia mulai berteriak histeris, jari telunjuk Ummi' langsung tertuju padaku. Sesekali ke Bak Ita. Selalu saja kami yang jadi tersangka atas tragedi teriakannya setiap waktu.

Namanya Sibghatallah Lu’lu’ Al-Maknun Mujaddidah. Nama terpanjang diantara sesaudara, bahkan sedesa Pananggungan. Nama-nama kami memang murni pemberian dari Bapak. Nama panggilan kami bertiga memang tak ada yang persis mengambil dari nama lengkap. Adikku termasuk yang paling melenceng. Bapak memberinya panggilan Emelda. Dia akrab dipanggil Emel oleh teman-temannya. Adapun panggilan olehku banyak sekali riwayat, mulai Enda, Klu-klu, hingga saat ini aku menganggilnya Gelgell. Tak menutup kemungkinan ada panggilan selanjutnya.


Dia lahir hari Jum’at, 8 Jumadil Akhir 1421 H./08 September 2000 M. Aku ingat betul masa-masa kelahirannya. Waktu itu tengah malam. Kedengaran Ummi' memangil Bapak dengan suara datar. Panggilan itu ternyata menandakan kelahiran putri bungsunya. Seperti biasa, Ummi' tak pernah menangis dikala melahirkan. Kami sekeluarga bahagia melihat bayinya normal seperti lazimnya. Kata Ummi', yang paling dikhawatirkan ibu dari kelahiran setiap bayi yaitu kemungkinan adanya cacat yang membedakannya dengan manusia lain. Sayangnya, Bak Ita tak bisa turut menyaksikan, karena ia sedang nyantri di Guluk-guluk.


Gelgell kecil adalah balita imut menggemaskan. Selera femininnya perlahan tumbuh. Ia mulai menyukai boneka dan perhiasan-perhiasan. Perkembangannya cepat sekali. Ummi' menyekolahkannya disaat usia prematur, sehingga ia pun menjadi siswi termuda diantara teman kelas-kelasnya.

Kami berdua sama-sama menyukai binatang. Kucing termasuk yang paling difavoritkan. Sebaliknya Bak Ita yang tak punya rasa keperi-binatang-an sama sekali. Ini salah satu kesamaanku dengannya, selain juga wajah yang menurut orang-orang lebih dominan mirip denganku.


Setelah lulus SD, ia melanjutkan ke SMP Muhammadiyah Pamekasan. Beda denganku dan Bak Ita yang tamat SD menempuh jalur pesantren. Harapannya lebih baik. Semoga saja.


Instagram