Rabu, 30 September 2015 |

Pacaran Islami

Pacaran identik dengan hubungan terlarang yang melanggar norma agama dan kebanyakan masyarakat. Mayoritas beranggapan bahwa pacaran adalah hubungan cinta pra nikah dimana sering dilakukan oleh para remaja dalam masa-masa pubernya. Benarkah pacaran mutlak dilarang? Jangan-jangan kita mempunyai persepsi berbeda tentang pacaran.

Kata “pacar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti teman lawan jenis yg tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Berpacaran berarti bercintaan, berkasih-kasihan. Akan tetapi, perkembangan zaman telah menggeser pengertian ini sehingga terlanjur salah kaprah. Tak jauh berbeda dengan kata ta’jil yang jamak dipahami sebagai makanan ringan untuk buka puasa, padahal makna sebenarnya ialah bersegera dalam berbuka puasa.

Merujuk pada definisi pacaran yang sebenarnya, Islam sebagai agama yang kaffah telah mengatur pacaran secara detail. Mulai dari proses untuk bisa berpacaran, tata cara pacaran, hingga proses putusnya pacaran. Demikian juga, Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah tidak melarang bahkan menganjurkan pemeluknya untuk pacaran dengan pahala dan keutamaan tertentu, mengingat pacaran adalah sesuatu yang instingtif. Jika Islam sampai melarangnya, niscaya agama ini tidak lagi sesuai dengan fitrah.

Pacaran lebih identik dengan perilaku, bukan status sebagaimana yang banyak dipahami oleh kaula muda. Yang dilarang adalah penyalahgunaannya, bukan pacaran itu sendiri. Tak ada bedanya dengan narkoba yang sangat diperlukan untuk medis. Akan tetapi, barang tersebut disalahgunakan oleh oknum tertentu.

Penyalahgunaan pacaran jelas telah dilarang dalam Islam, sebagaimana ayat “laa taqrabuz zinaa…” dan sebuah hadits yang menyatakan "Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya." (HR. Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketika pacaran dipraktekkan sesuai dengan koridor syar’i, maka kita menyebutnya pacaran islami. Untuk mengidentifikasi islami tidaknya, hanya dibedakan berdasarkan “sebelum” dan “sesudah”. Pacaran (lebih tepatnya penyalahgunaan pacaran) dilakukan sebelum menikah, sedangkan pacaran islami dilakukan sesudah akad pernikahan. Ini adalah sesuatu yang sangat krusial, karena mengubah sesuatu yang awalnya dosa menjadi pahala dan haram menjadi halalan thayyiban.

Sebagai antisipasi, mengingat pacaran sudah terlanjur dianggap sebagai hubungan haram pra nikah, mulai saat ini kita harus mengislamisasikan istilah tersebut. Sehingga tidak ada lagi stigma negatif tentang pacaran, bahkan bermakna sesuatu yang sah dan berpahala. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara mengganti kata istri dengan kata pacar. Bila sebelumnya kita mengatakan “Dia istriku”, mulailah ganti menjadi “Dia pacarku”. Bila sebelumnya kita berucap “istri masih satu” ketika mengenalkan diri kepada peserta seminar, mulailah ganti menjadi “pacar masih satu.” Ini sangat dibenarkan, karena istilah pacar pada dasarnya adalah orang yang bersama kita dalam melakukan aktivitas ‘pacaran’. Bukankah pacaran sudah merupakan hal pokok untuk dilakukan bagi pasangan suami-istri?!

Pacaran islami bukan seperti yang banyak dimengerti banyak kalangan, yaitu aktivitas pacaran yang didahului oleh bacaan-bacaan islami. Seperti pegangan tangan membaca “bismillah”, sebelum ciuman baca ayat kursi dan sebagainya. Ini jelas pemahaman yang sangat dangkal, sehingga menimbulkan pandangan bahwa pacaran islami itu tidak ada. Anak kecil pun bisa memahami bahwa hal di atas jelas ngawur. Sebagian pula mengatakan, jika ada pacaran islami, berarti bisa juga ada korupsi islami. Kalangan tersebut menganggap tidak mungkin perkara haram dislamisasikan. Terkait hal ini, kemarin (01 April 2015), aku sempat menulis status di fesbuk;


Link : Klik di sini!

Dalam Qur’an surat 'Ali 'Imran ayat 14 disebutkan bahwa manusia itu pasti mempunyai cinta, diikuti dengan syahwat. Keinginan melihat, memegang, mencium, ML, dst., aktivitas pacaran ini semuanya fitrah dan Islam telah memfasilitasinya. Lihatlah agama lain yang melarang pacaran, seumur hidupnya dilarang untuk melampiaskan kebutuhan biologis. Akibatnya, banyak sekali bentuk penyimpangan, baik secara seksual maupun sosial.

Status lajang/jomblo adalah keadaan yang sangat tidak disukai dalam Islam, karena dalam keadaan itulah orang tidak bisa berpacaran. Ketika orang tidak bisa berpacaran, maka timbullah hasrat biologis dalam dirinya yang mendesak untuk dilampiaskan. Ketika demikian, pintu-pintu setan terbuka lebar sebagai tempat pelampiasan.

Berikut hadits-hadits yang melarang hidup membujang, meskipun dengan alasan untuk memperbanyak ibadah. sebagaimana dikutip dari http://keluargacinta.com/inilah-hadits-hadits-yang-melarang-hidup-membujang/


Anjuran Islam agar umatnya menikah dan melarang hidup membujang menunjukkan bahwa Islam sangat memberikan perhatian besar pada terwujudnya generasi penerus yang berkualitas. Betapa indahnya, aktivitas pacaran yang semula diharamkan, menjadi halal karena peristiwa akad nikah yang mungkin cuma berlangsung sekian menit. Setelah akad nikah, pacaran bukan hanya halal, tapi wajib dipenuhi oleh sepasang suami-istri sebagai bentuk nafkah batin. Karena itu, segeralah upayakan pacaran islami untuk menyelamatkan diri dari belenggu nafsu dan setan.


Instagram