Selasa, 28 Juni 2011 |

Lintas Tragedi

Malam itu (13/06/2011) aku, Bapak, dan adikku pergi ke rumah Ba Lilah di desa Larangan Ganding. Seperti malam-malam sebelumnya, kami memang biasa main ke sana walaupun sekedar singgah. Namun saat itu kami bertiga mempunyai kepentingan masing-masing. Aku sendiri mau nebeng netbooknya om Zainur untuk mengetik artikel yang selanjutnya mau diposting ke blog. Entri tersebut sudah diposting dengan judul “Mendisable Task Manager” dan “Mempercepat Koneksi Internet”. Selain itu, aku juga berniat menyalin film ‘Kain Kafan Perawan’ ke flesdis. Sedangkan keperluan adikku mengantarkan benang sulaman ke tante Rila (istri om Zainur), disamping bermain bersama kakak sepupunya yang bernama Ismi. Sedangkan Bapak pergi bersama K. Karim ke rumah Ust. Edy di Lenteng. Kami sangat menikmati indahnya perjalanan dari rumah menuju Larangan dengan mengendarai motor butut antiknya Bapak.

Sampai di rumah Ba Lilah, seperti biasa kami langsung masuk tanpa sepatah salam pun. Dianggap tak sopan, mungkin terlalu. Sudah terlanjur biasa, selain kami juga keluarga. Terlihat Ismi sedang nonton TV dan bak Rila di kamarnya yang tengah sibuk menyambungkan speaker baru ke netbook. Aku turut membantunya. Sementara adikku tengah asyik nonton TV bersama Ismi. Setelah speakernya terpasang, tanpa buang-buang waktu aku menggarap agenda yang sudah terencana itu. Sejenak berlangsung, aku beranjak ke kamar mandi untuk buang air kecil. Di dapur aku lihat Ismi yang mau makan malam. Kebetulan memang lagi keroncongan. Aku pun joinan dan adikku tak mau ketinggalan. Sebelumnya kami berdua tadi udah ditawarin makan oleh Ba Lilah. Aku tak meresponnya sedang adikku menolak dengan alasan kenyang. Eh nyatanya dia juga tak tahan melihat ayam dan cumi-cumi yang sudah siap santap.

Berjam-jam kita di sana. Berbagai tawa dan cerita bertebaran dari mulut ke mulut. Antara aku, adikku, Ismi, dan tante Rila. Sampai akhirnya kami capek dan istirahat. Aku dan adikku tak langsung pulang karena masih menanti Bapak yang tak kunjung datang. Aku istirahat di kamar selatan. Dan adikku bersama Ismi di kamar Ba Lilah. Tante Rila menyendiri di kamarnya. Selang waktu cukup lama, akhirnya yang dinanti-nanti datang juga. Aku pun menyudahi obrolanku dengan Rosi (pembantu ba Lilah) dan bergegas bangkit untuk membangunkan adikku yang sudah tidur pulas. Kami pun pulang sekitar pukul 12 malam.

Di tengah perjalanan, Bapak teringat pada bensin motornya yang udah hampir habis. Jika tak diisi ulang pasti akan ngadat di tengah jalan. Begitu perkiraannya. Ketika sampai pertigaan menuju arah rumah, kami memutuskan untuk tetap satu jalur dengan spekulasi toko-toko di sepanjang jalan masih ada yang buka. Ternyata nihil. Kami pun putar balik ke timur untuk mencari kios bensin yang masih beroperasi. Kami mencarinya sampai ke pertigaan timur Ganding. Meskipun di sana toko-toko berjejer rapi, namun tak ada satupun yang buka. Kami pun kebingungan. Rasa itu sirna seketika saat Bapak terpikir pada toko ji Munir. Satu-satunya toko yang buka dan menyediakan bensin. Kalau dipikir ulang, rasanya aneh dan bodoh. Kami sebenarnya sudah lalu-lalang di sekitar toko itu baik ketika menuju arah barat maupun timur. Namun Tuhan tak segera memberikan petunjuknya. Baru kita sadar setelah berada di partelon timur bahwa toko ji Munir juga jual bensin.

Banyak orang begadangan di depan toko itu. Persediaan bensinnya tinggal 2 liter. Kami cukup membeli seliter. Tepat ketika kami berhenti di depan toko, ada rombongan motor ugal-ugalan dari arah barat. Seakan jalan raya milik bokapnya. Kami pun melanjutkan perjalanan pulang.

Perlahan-lahan kami meluncur dengan kecepatan seadanya tersebab motornya memang tak bisa dipacu. Kami masih berada di kawasan toko Ji Munir. Kami sangat tenang karena udah bisa pulang. Dari arah yang berlawanan, datanglah segerombolan pemuda dengan motor yang kecepatannya udah melanggar norma safety riding. Aku melihat 3 motor di depan dan sebuah lagi di belakangnya. Tiba-tiba 1 motor yang di belakang itu berusaha menyusul 3 temannya di depan yang hampir berdempetan. Pada saat yang sama, kami berjalan tenang di arah selatan. Tanpa diduga-duga, 1 motor di belakang itu benar-benar membelok setirnya untuk mendahului teman-temannya. Akibatnya, segerombolan itu memenuhi area jalan raya. Sedangkan kami bertiga ada di arah yang berlawanan. Mau tidak mau, motor yang satu itu menabrak kami. “gedubrak!”

Kami bertiga terjatuh. Bapak langsung bisa bangkit. Aku tak bisa bangun tersebab lutut dan pinggang kena tabrak. Sedangkan adikku berlumuran darah di kakinya. Ia berteriak “bapak, bapak, bapak, kaki Enda sakit…!” Beberapa detik kemudian orang-orang yang cangkru'an di depan toko ji Munir menghampiri kami bertiga. Sementara para pemuda itu langsung lari meskipun sempat terjatuh juga. Kontan perhatian orang-orang tertuju pada adikku karena dilihat keadaannya paling parah. Dengan segera adikku dilarikan ke Rumah Sakit yang memang tak jauh dari TKP. Dia diantarkan sama orang yang tak aku kenal dengan digendong sama Bapak. Darahnya terus menetes. Suasana panik mencekam batinku.

Aku didesak orang-orang untuk bangun. Sambil menahan sakit, akhirnya aku bisa berdiri dengan kondisi tubuh yang tak begitu seimbang. Orang-orang menunjuk pada bekas darah yang ada di trotoar. Mereka bertanya darah itu punya siapa. Aku langsung memegang kepala takut ada yang bocor. Ternyata tidak.

Untungnya, tabrakan itu tidak terjadi secara head to head (depan lawan depan). Mereka hanya menyerempet kami dari samping. Dengan begitu, Bapak yang ada di depan tak kena benturan. Hanya lututnya luka sedikit. Bagian belakang motor yang dipasang box hancur. Semua isinya tumpah ke tengah jalan. Orang-orang memungutnya dan menyerehkannya padaku. Sebagian uang yang berceceran, ada uang 2 ribuan. Seseorang menawarkan padaku agar uang itu dibeliin air minum. Dia membawakan air itu. Rasa panik terkurangi setelah ada cairan masuk ke dalam tubuh.

Orang-orang menyuruhku pergi ke utara jalan. Aku manut pada segala yang mereka perintahkan. Dari komentar orang-orang, semuanya sepakat bahwah pihak yang salah adalah pihak lawan. Menurut kabar, mereka habis nonton orkes dangdut di Bragung dan pulang dalam keadaan mabuk. Semua yang menyaksikan insiden itu yakin keadaan lawan pasti lebih parah dari pada kami bertiga, melihat motornya yang terbanting jauh dari tempat benturan. Mereka bisa kabur karena 2 faktor. Pertama, mereka dalam keadaan mabuk, sehingga rasa sakit belum terasa. Kedua, mereka dibantu oleh teman-temanya untuk naik ke motornya kembali. Di antara orang-orang di depan toko tidak mempermasalahkan kronologi insiden tersebut. Dia malah mengungkap mitos banyak jin dan setan di simpang tiga sehingga sering kejadian. Sungguh.

Aku disarankan untuk pulang dan segera pergi ke dukun pijat. Katanya, jika didiamin sampai esok hari akan semakin parah dan sakitnya bukan main ketika dipijat. Awalnya aku terpikir untuk menunggu Bapak dan adikku keluar dari RS. Akan tetapi semua orang menyarankanku pulang. Setelah mendengar kabar keadaan adikku baik-baik saja dan luka di kakinya udah dijahit, aku pulang dengan diantarkan orang yang lagi-lagi tak aku kenal. Aku minta untuk langsung diantarkan ke rumah dukun pijat tanpa berhenti di rumah dulu. Ummy pasti terkejut bukan main dengan kejadian ini. Setibanya di rumah bik Sit (si dukun pijat), ternyata orangnya udah tidur. Hanya ada anak-anak nonton TV. Untungnya bik Sit bisa melayaniku walau sudah lewat tengah malam. Aku baru mengetahui ada luka di lengan yang tak begitu parah setelah aku melepas jaket dari tubuhku. Orang yang mengantarku tadi pulang duluan. Sementara aku dipijat di ruangan yang telah disediakan. Tensi sakit semakin terasa ketika pijatan sampai di bagian lutut dan pinggang tersebab keduanya anggota tubuh yang kena tabrak secara langsung.

Terdengar bunyi sepeda motor dari luar ruangan. Ternyata dia temanku Zei yang mau melihat keadaanku. Dia juga yang menggendong adikku tadi ke sepeda motor untuk di bawa ke RS. Dia juga yang ngantar Bapak ke rumah. Dia menungguku sampai selesai dipijat. Kemudian ia mengantarku pulang ke rumah. Dia sangat berjasa pada kami. Bik sit memberiku 2 buah pisang rebus ketika aku hendak pulang. 

Aku lihat Bapak dan adikku telah pulang ke rumah. Semua anggota keluarga menanti kabar dan kedatanganku. Adikku diantar sama om Zainur dan tante Rila. Ummy yang tengah terkejut dan panik selalu menyalahkan keadaan. Dia selalu berandai-andai. Seandainya tadi kami bertiga gak pergi, seandainya kami bertiga tadi menuruti kemauannya, seandainya dan seandainya. Tapi aku sedikit maklum karena dia sedang diliputi rasa panik, takut dan terkejut.

Keesokan malamnya bik Sit diundang ke rumah untuk memijat kami betiga. Rasa sakitku masih terasa. Bik Sit memvonis lututku bissep (madura). Menurutku bahasanya terlalu berlebihan. Kata bissep sekan menandakan kondisi yang sangat parah. Padahal cuma memar dan kelihatan merah kehitam-hitaman. Bik Sit juga memijat Emba.

Demikian pengalamanku yang Tak Terlupa. Terima kasih buat Zei, om Zainur, tante Rila, ba Lilah (yang keesokan harinya mejenguk kami ke rumah) dan semua orang yang tak bisa ku sebutkan satu per satu. Harapanku kejadian ini takkan terulang. Rasa traumanya juga tak berkepanjangan. Semoga kejadian ini bisa menambah pahala dan mengangkat derajat di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.

 

Instagram