Sapaan Emma’ lumrah digunakan orang Madura ketika memanggil ibu kandung. Lain halnya denganku yang menggunakan sapaan ini kepada perempuan yang bukan ibu kandungku. Menurut cerita, aku terbiasa menyapa Emma’ kepadanya sejak kecil tanpa ada orang lain yang menyuruh atau mengajari. Tidak jarang orang menganggap Emma’ sebagai ibu kandungku sendiri. Selain karena sapaannya, juga lantaran kedekatan kami layaknya seorang ibu dan anak. Berawal dariku, turun pula ke adikku Gelgel. Dia juga memanggilnya demikian. Tapi berbeda dengan Bak Ita yang menyebutnya Bi’ Hawa.
Kendati bukan ibu kandung, Emma’ sangat berarti bagiku. Sejak aku kecil dia mengambil peranan banyak dalam mengasuhku, apalagi jika Ummi' tengah sibuk dengan kerjaan lain. Dia seakan menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri. Emma' adalah ibu keduaku setelah Ummi'.
Sudah sejak dulu —ketika aku belum lahir— Emma’ sudah tinggal di rumakhku. Awalnya dia diminta Emba untuk bantu-bantu di rumah, tersebab waktu itu Ummi' dan Bapak udah punya momongan Bak Ita. Mau tidak mau aktivitas pun bertambah. Cerita Emma’ sendiri, dia sudah tinggal di rumah sejak Bak Ita berumur 3 tahun. Kami masih sedesa cuma beda dusun; Temor Leke dan Barak Leke. Sesekali Emma' berkunjung dan melihat kondisi rumahnya.
Lama-kelamaan kami sekeluarga menganggap Emma’ sebagai anggota keluarga sendiri. Dia memang tidak seperti warga lain yang mempunyai keluarga yang utuh. Peristiwa yang terjadi kepadanya membuatku iba. Konon, orang tuanya meninggal dunia di saat Emma’ masih muda. Dia pernah bersuami tapi bahtera rumah tangganya tidak langgeng. Ia tak sempat dikaruniai satu putra pun. Emma’ adalah anak semata wayang. Keluarga yang tersisa kebanyakan hanyalah sepupu dan kerabat-kerabat jauhnya.
Emma’ orang yang sangat sosialis. Ketika ada hajatan dia selalu diminta oleh masyarakat untuk jadi panitia dapur. Masyarakat Pananggungan sangat simpati kepadanya. Meski kondisinya yang demikian, dia tetap teguh menjalani hidup dan baik hati pada setiap orang. Luv u, Emma'!
